Minggu, Maret 01, 2009

"Illegal Logging", Penyebab dan Dampaknya

Upaya menjustifikasi kegiatan penebangan liar, sebagai sebuah usaha yang mudah untuk memperoleh uang dan menghubungkannya dengan krisis moneter, merupakan jawaban yang tidak menyelesaikan masalah, tetapi menambah kekisruhan di sektor itu sendiri.

Sejumlah persoalan timbul ketika penggunaan terminologi "ilegal" dan "legal" dalam setiap kasus yang bernuansa legalistis. Kadar dan standar formal begitu kental dalam mengidentifikasi kasus penebangan liar ini. Semua pihak mafhum bahwa ketika pengaplikasian kata yang berbau legalistis diterapkan, pilar hukum yang dibakukan dengan sendirinya akan menafikan realitas yang ada; yang tidak dikategorikan dalam bingkai hukum formal.

Konsekuensinya, pertarungan antara yang bersifat "de jure" dan "de facto" menjadi semakin mengkristal. Dengan demikian, apabila kita mempergunakan jalur berpikir ini, akan timbul pertanyaan: siapa yang dikategorikan sebagai pelaku legal dan ilegal dalam kasus penebangan liar ini. Penebangan liar "…occur right through the chain from source to costumer, from illegal extraction, illegal transport and processing through to illegal export and sale, where timber is often laundered before entering the legal market". Rujukan hukum ini serta merta menerpa para pelaku, terutama masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan, yang hidupnya sangat bergantung dari hasil-hasil hutan (kayu dan non-kayu). Kelompok marjinal akan selalu menjadi kambing hitam dan sasaran penindakan dalam setiap kasus penebangan liar.

Maraknya praktik penebangan liar mendorong berbagai badan nasional (LSM) dan internasional (antara lain CGI) mengkritisi upaya penanganan kasus ini. Data yang dikeluarkan Bank Dunia menunjukkan bahwa sejak tahun 1985-1997 Indonesia telah kehilangan hutan sekitar 1,5 juta hektar setiap tahun dan diperkirakan sekitar 20 juta hutan produksi yang tersisa. Penebangan liar berkaitan dengan meningkatnya kebutuhan kayu di pasar internasional, besarnya kapasitas terpasang industri kayu dalam negeri, konsumsi lokal, lemahnya penegakan hukum, dan pemutihan kayu yang terjadi di luar kawasan tebangan.

Tingginya permintaan terhadap kayu di dalam dan luar negeri tidak sebanding dengan kemampuan penyediaan industri perkayuan (legal). Akibat dari ketimpangan antara persediaan dan permintaan, ikut mendorong penebangan liar di taman nasional dan hutan konservasi. Kondisi ini diperparah lagi dengan tumbuhnya industri kayu tanpa izin dekat lokasi penebangan dan penimbunan kayu (log ground); di mana transaksi jual beli kayu tanpa dokumen berlangsung. Padahal, perangkat hukum seperti KUHP Pasal 50 dan Pasal 178 dan UU Nomor 41 Tahun 1999 cukup efektif untuk menjerat para pemilik, penyimpan, dan pembeli kayu tanpa dokumen, dengan sanksi Rp 5 miliar atau dipenjarakan selama 10 tahun. Praktik KKN di sektor kehutanan membuat peta penyelesaian penebangan liar makin semrawut.

Tingginya produksi kayu gelondongan (log) dari 41 hingga 56 juta meter kubik pada tahun 1998, salah satu penyebabnya adalah bermunculannya kayu dari hasil penebangan liar, yang diperkirakan berjumlah 70 persen. Kasus penebangan liar di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah, meresahkan, sebab fauna dan flora yang sangat dilindungi di kawasan hutan dataran rendah ini akan ikut musnah. Kehancuran hutan sebab penebangan liar terjadi juga di Taman Nasional Leuser, Taman Nasional Kerinci-Seblat, dan Taman Nasional Gunung Palung. Dampaknya (juga perusakan hutan dengan cara lainnya) adalah: musnahnya berbagai fauna dan flora, erosi, konflik di kalangan masyarakat, devaluasi harga kayu, hilangnya mata pencaharian, banjir dan rendahnya pendapatan negara dan daerah dari sektor kehutanan, kecuali pemasukan dari pelelangan atas kayu "sitaan" dan kayu "temuan" oleh pihak terkait. Hingga tahun 2002, setiap tahun negara dirugikan Rp 30,42 triliun dari penebangan liar dan sekitar 50 persen terkait dengan penyelundupan kayu ke luar negeri.

Selama ini, praktik penebangan liar dikaitkan dengan lemahnya penegakan hukum, di mana pihak penegak hukum hanya berurusan dengan masyarakat lokal atau pemilik alat transportasi kayu. Untuk para cukong kelas kakap yang beroperasi di dalam dan di luar daerah tebangan, masih sulit untuk menjerat mereka dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.

Kepemilikan kayu "tak berdokumen" di log ground sepanjang aliran sungai, tempat penimbunan sampai ke penggergajian, sulit dilacak sebab rumitnya jaringan serta ketidakmampuan aparat untuk menindak para pelaku. Apabila pemerintah saat ini tak berdaya, fokus kajian terhadap praktik penebangan liar perlu dicari dalam setiap regulasi pusat dan daerah. Sejak kebijakan otonomi daerah (Otda) diberlakukan tahun 2001, khususnya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, setiap daerah melirik pada potensi daerah bernilai ekonomis yang tersedia. Eksploitasi eksesif terhadap sumber daya alam yang tersisa; mendorong dikeluarkannya regulasi yang kadang kala tumpang tindih antara pusat dan daerah. Pemerintah pusat, di satu sisi, tetap mempertahankan kendali atas hak (izin) pengelolaan hutan. Bersamaan dengan itu, pemerintah daerah mengeluarkan peraturan daerah (perda) untuk kepentingan daerahnya. Kontroversi penyusunan regulasi serupa juga terjadi antara kebijakan provinsi dan kabupaten.

Tumpang tindih regulasi sebab kebutuhan dan disparitas interpretasi telah ikut mendorong eksploitasi sumber daya alam termasuk sektor kehutanan. Tekanan hidup terhadap masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan mendorong mereka untuk menebang kayu baik untuk kebutuhan sendiri atau untuk kebutuhan pasar melalui tangan para pemodal. Permainan dokumen, lazim disebut "dokumen terbang", untuk melegalkan status kayu ilegal dapat dipertimbangkan sebagai salah satu faktor sulitnya memberantas kegiatan penebangan liar. Oleh sebab jaringan penyelundupan dan penjualan kayu ilegal juga marak ke luar negeri (Inggris, Singapura, Malaysia, dan Cina), maka kerja sama dengan 12 negara asing perlu ditingkatkan.

Kebijakan moratorium yang pernah dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan adalah terapi sesaat dan tidak selalu menolong industri perkayuan; bahkan akan membuat stagnan kegiatan industri kayu serta menurunnya pendapatan negara dari sektor kehutanan. Penebangan liar tidak cukup diminimalkan dengan imbauan dan surat keputusan. Mata rantai panjang mulai dari penataan tata ruang, tata wilayah dan penggunaan lahan, program pemberdayaan masyarakat, jaminan bagi hak-hak hidup dan berusaha untuk masyarakat (adat). Kerja sama multilateral dengan lembaga swadaya masyarakat, aparat keamanan, polisi hutan, pemerintah, dan masyarakat (adat) adalah salah satu cara terbaik untuk meminimalkan praktik penebangan liar.

John Haba Peneliti PMB-LIPI, Jakarta

Kamis, Februari 26, 2009

Belajar Dari Bencana Gempa Bumi dan Tsunami

Tulisan : Sam-el Ladh

Dosen : Prof. Bernard T.Adeney-Risakotta, Ph.D.

Belajar Dari Bencana Gempa Bumi dan Tsunami

Bencana alam dahsyat, gempa bumi berkekuatan 9,3 skala Richter yang disertai gelombang tsunami, telah mengisi memori bangsa Indonesia di penghujung tahun 2004 yang lalu. Bencana itu telah mengakibatkan ratusan ribu jiwa tewas di Aceh, Nias, dan Sumatera Utara, dan kerusakan pada infrastruktur yang sangat parah. Gempa dan gelombang tsunami itu bahkan oleh seorang pakar tsunami digambarkan sebagai yang bencana tsunami terdahsyat di dunia.1

Sebagai bangsa yang mengaku religius, bencana alam ini melahirkan banyak perenungan, pertanyaan, dan juga kesadaran baru. Silih berganti para ulama, rohaniwan, tokoh-tokoh bangsa, menyampaikan kata-kata bijaknya. Beraneka ragam petuah yang telah disampaikan, namun kebanyakan intinya adalah mengajak untuk datang kepada yang maha kuasa, dan belajar hikmah yang besar yang Tuhan mau ajarkan melalui peristiwa ini2.

Melalui makalah ini, saya mencoba untuk melakukan apa yang dianjurkan itu. Saya mencoba untuk melihat hikmah apa yang dapat ditarik dari bencana ini melalui perspektif seorang pengikut Kristus. Hikmah mengenai arti keberadaan alam ini bagi manusia, hikmah mengenai arti keberadaan manusia di tengah alam ini, dan hikmah mengenai kehidupan itu sendiri. Saya menyadari bahwa pada akhirnya apa yang saya pelajari, mungkin bukan sesuatu yang baru, namun bagi saya upaya mempelajari hikmah dari bencana alam ini adalah pengalaman yang baru dan penting, karena itu saya berharap dapat berguna juga.

Makalah ini saya akan mulai dengan menggambarkan bencana itu secara singkat, kemudian

mencoba melihat pemikiran-pemikiran yang muncul mengenai makna bencana itu, dan kemudian ditutup dengan refleksi saya pribadi mengenai makna bencana itu.

1 Pakar tsunami Dr. Ir. Subandono Diposaptono, M.Eng mengatakan demikian dalam “Tsunami Aceh Terdahsyat di

Dunia” dalam Kompas Cybermedia (www.kompas.com), 1 Januari 2005

2 dalam “Indonesia (tak cukup hanya) menangis”, harian Kompas, 28 Desember 2004, Effendi Gazali mengutip

wawancara Metro TV dengan Pdt. Nathan Setiabudi, Romo Mudji Sutrisno yang mengatakan bahwa ‘Tuhan sedang

mendidik kita’, dan Aa Gym yang mengutarakan bahwa pasti ada hikmah yang besar di balik peristiwa besar itu.

Bencana Itu

Bencana dahsyat itu bermula dari suatu tempat jauh di bawah dasar laut, 240 km lepas pantai Sumatera, pada perbatasan dua lempeng tektonik dunia, yaitu sebuah tubir laut sepanjang 1,200 km yang dikenal dengan nama zona subduksi Andaman-Sumatera. Lempengan bagian bawah mengalami tumbukan ke bawah (subduksi) sehingga mengumpulkan tekanan yang sangat besar.

Tekanan inilah yang kemudian dilepaskan pada tanggal 26 Desember 2004, yang berakibat gempa bumi dahsyat dari Aceh sampai Thailand dan bahkan Maldives3.

Gempa bumi yang disebabkan oleh subduksi ini lebih dahsyat karena biasanya berlangsung lebih lama. Gempa di Aceh dikabarkan berlangsung sampai delapan menit! Bisa dibayangkan berapa banyak kerusakan yang bisa ditimbulkan oleh gempa selama itu, dan berapa banyak jiwa yang tewas. Di pulau Simeuleu, gempa itu mengangkat bebatuan koral dari dasar laut ke atas permukaan tanah.

Gempa bumi itu kemudian melahirkan gelombang besar, yang melaju dari episentrum gempa menuju pantai-pantai sekitarnya. Pusat Peringatan Tsunami di Pasifik (Pacific Tsunami Warning Center) di pulau Hawaii, menangkap pergerakan gelombang tersebut. Banda Aceh, Meulaboh, yang berada hanya beberapa kilometer dari pusat gempa tersebut, adalah yang pertama diterjang gelombang itu, yang mencapai ketinggian 20 meter dan masuk hampir 1 kilometer ke daratan, dan menewaskan 200,000 jiwa.

Gelombang tersebut kemudian melanjutkan perjalanannya melintasi Laut Andaman menuju Thailand. Di Khao Lak, air laut tiba-tiba surut jauh ke tengah, namun kemudian disusul gelombang pasang setinggi 10 meter, dan menewaskan 5,000 orang, kebanyakan wisatawan. Selanjutnya Sri Lanka. Gelombang pasang yang membawa air sebesar 100 milyar ton menerjang pantai selatan negeri itu. Namun di sini gelombang tersebut mengalami perubahan arah, bagian depan gelombang tersebut melambat karena menemui perairan dangkal, namun bagian belakangnya berubah arah dan menghantam pantai barat daya Sri Lanka, sehingga menewaskan lebih 4,000 jiwa di Galle.

3 Helen Lambourne “Tsunamy: Anatomy of Disaster”, BBCNews.com, 27 Maret 2005

Gelombang ini terus berlanjut ke India, di mana 10,000 orang dikabarkan tewas. Kemudian Maldives. Namun ajaibnya, walau 80 orang dikabarkan tewas, kerusakan di negeri ini hampir tidak terjadi. Diduga karena gugusan batuan karang di lepas pantainya, mengurangi kedahsyatan terjangan gelombang pasang. Negara lain yang dihantam gelombang ini adalah Somalia, di mana 300 orang tewas. Kenya adalah perhentian terakhir gelombang ini, yang sudah melemah setelah melewati pulau-pulau Seychelles dan Diego Garcia. Di Kenya dikabarkan satu orang tewas.

Berikut ini adalah tabel perkiraan jumlah korban yang tewas di berbagai negara4:

Negara Perkiraan Jumlah korban tewas

Indonesia 166,320

Sri Lanka 38,195

India 16,383

Thailand 5,322

Somalia 298

Myanmar 90

Maldives 82

Malaysia 68

Tanzania 10

Bangladesh 2

Kenya 1

Total perkiraan 226,566

Berbagai Renungan dan Refleksi Pribadi

Berbagai komentar mengenai bencana dengan mudah dapat ditemukan di seluruh pelosok Indonesia, setelah bencana itu terjadi. Selain yang tercetak di media massa, obrolan-obrolan di angkringan pun tidak luput dari bahasan mengenai tsunami. Dalam diskusi di kelas Teologi Agama-agama pun berbagai komentar dan renungan telah disampaikan dan dibahas.

Dalam makalah ini saya mencoba menyoroti renungan dari beberapa pihak, dan berangkat dari itu saya lalu akan menyajikan refleksi pribadi saya mengenai masalah bencana alam ini. Yang pertama saya mengutip renungan Hizbut Tahrir Indonesia, di website-nya Al-Islam Online5.

4 dari MSNBC.com, “Tsunami in Asia Front Page”, http://www.msnbc.msn.com/id/6758619

5 Renungan Akhir Tahun, Al-Islam Online, (www.al-islam.or.id)

Juga dari tulisan Haidar Bagir di harian Kompas, 2 Februari 20056. Selain itu dari kalangan Kristen saya mengutip tulisan Happy Susanto di harian Suara Pembaruan, 29 Maret 20057.

Dalam Renungan Akhir Tahun buletin online Hizbut Tahrir Indonesia, dikemukakan bahwa ada tiga hal yang perlu disadari dari bencana alam yang terjadi. Yang pertama adalah bahwa itu bukanlah azab dari Allah, melainkan sebuah peristiwa alam ‘biasa’ yang sering dialami umat manusia. Itu adalah fenomena alam yang telah menjadi qadhǎ (ketentuan) Allah.

Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan tidak pula pada diri kalian sendiri melainkan telah tertulis

dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi

Allah. (QS al-Hadid [57]: 22)

Yang kedua, walaupun demikian bencana itu bisa juga merupakan cobaan dari Allah. Oleh karena itu, umatnya harus bersabar dan pasrah sepenuhnya terhadap qadhǎ (ketentuan) Allah itu.

Sesungguhnya Kami akan menimpakan cobaan atas kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan serta kekurangan

harta, jiwa, dan buah-buahan. Sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu orang-orang

yang jika ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji‘ûn." (QS al-Baqarah [2]: 155-

156).

Dan yang ketiga, musibah itu bisa juga merupakan sebuah teguran sekaligus ancaman atas hidup manusia yang telah menjadi begitu sempit dan picik. Oleh karena itu, umatnya juga perlu insyaf dan mengambil jalan taubat.

Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (al-Quran), maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit,

dan Kami akan menghimpunkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta. (QS Thaha [20]: 124).

Sementara itu Haidar Bagir mengajukan pertanyaan yang lebih mendalam:

Kenapa Tuhan yang Mahapengasih dan Penyayang, yang Mahakuasa (yang kekuasaannya tak terbatas)

membiarkan-kalau tak malah menciptakan-keburukan semacam gempa dan tsunami yang menimbulkan korban jiwa, benda, dan penderitaan mahadahsyat seperti ini? Apa mau Dia? Jangan-jangan Tuhan tak sepenyayang dan

sepengasih yang kita kira? Bahkan sesungguhnya dia mahapemarah? Di mana keadilan Tuhan kalau Tuhan seperti yang dikenal orang-orang beragama memang ada?8

Melalui tulisannya Bagir membawa kepada perenungan mengapa ‘Tuhan bisa melakukan sesuatu yang mengerikan seperti itu?’. Setelah panjang lebar mengurai diskursus mengenai teodise, kekuasaan Tuhan dan kenyataan bahwa ada kejahatan di dunia ini, Bagir sampai pada kesimpulan

6 Haidar Bagir, “Membincang Keadilan Tuhan (Teodise) dalam Bencana Tsunami di Aceh”, harian Kompas, 2 Februari 2005

7 Happy Susanto, “Teologi Memahami Alam”, harian Suara Pembaruan, 29 Maret 2005

8 Haidar Bagir, “Membincang Keadilan Tuhan (Teodise) dalam Bencana Tsunami di Aceh”, harian Kompas, 2 Februari 2005

bahwa hal ini adalah suatu misteri yang mungkin sengaja dibiarkan oleh Tuhan agar manusia

mencari-Nya dan berjumpa dengan-Nya. Dia menulis:

Barangkali Tuhan, bagi yang percaya kepada keberadaan dan keadilannya, memang menyisakan isu ini sebagai satu di antara berbagai misterinya dan, dengan demikian, membiarkannya tetap tinggal sebagai misteri. Sebuah misteri, yang kalaupun bisa dipecahkan, harus diselesaikan dengan cara lain. Barangkali lewat sebuah pengalaman, sebuah perjumpaan, sebuah pencerahan spiritual, ketimbang penjelasan rasional, apalagi filosofis.9

Happy Susanto dalam tulisannya, merenungkan bahwa manusia selama ini telah begitu egois terhadap alam. Oleh karena itu, bencana alam yang terjadi seharusnya menyadarkan manusia bahwa “manusia bukanlah satu-satunya penguasa dunia”. Ia menawarkan teologi yang berpihak pada alam, yaitu agar manusia bersikap lebih bijaksana dalam mengelola alam dan bukan mengurasnya, karena alam sendiri juga memiliki kekuatan untuk mengancam eksistensi manusia10.

Dari renungan-renungan di atas, saya mendapat bahan refleksi pribadi yang cukup berharga. Ada beberapa hal yang saya setujui, namun ada juga yang tidak bisa saya setujui.

Yang pertama, saya tidak setuju sikap yang memandang bahwa peristiwa bencana alam seperti tsunami di Aceh adalah suatu peristiwa alam biasa, yang sudah merupakan ketentuan dari Allah. Sikap ini adalah sikap pasrah kepada takdir, yang menerima saja karena ‘dari sananya sudah ditentukan demikian’. Saya setuju bahwa ada banyak hal yang tidak bisa dipahami manusia dan tidak bisa dikendalikan manusia, seperti pendapat Bagir bahwa ada hal-hal yang memang menjadi misteri bagi manusia. Namun bahwa manusia hanya sebuah obyek dari takdir, yang tidak bisa apa-apa di hadapan takdir sehingga harus ‘menerima saja’, menurut saya akan mereduksi harga diri manusia sebagai ciptaan yang diciptakan dalam ‘rupa dan gambar Allah’, dan juga akan menjadikan Allah sebagai pencipta yang tidak peduli akan ciptaan-Nya sama sekali, karena menciptakan suatu takdir yang ‘sudah dari sananya’ begitu saja. Saya berkeyakinan bahwa makna peristiwa bencana alam seperti tsunami itu, lebih daripada sekedar sebuah peristiwa alam yang sudah ditakdirkan. Apakah bencana tersebut merupakan suatu cobaan, atau suatu teguran, menurut saya adalah upaya yang lebih baik untuk merenungkan makna dari bencana itu. Akan tetapi, bagi saya hal itu

9 ibid

10 Happy Susanto, “Teologi Memahami Alam”, harian Suara Pembaruan, 29 Maret 2005

harus diserahkan kepada setiap pribadi. Maksudnya, saya bisa merenungkan dan menyadari bahwa bencana ini adalah cobaan bagi saya, atau teguran bagi saya supaya bertobat, namun renungan saya yang tidak mengalami peristiwa ini secara langsung, tentu berbeda dengan mereka yang menjadi korban secara langsung. Bila mereka menyadari bahwa ini cobaan, yang harus dilakukan adalah menolong mereka secara nyata, menguatkan hati mereka untuk tabah. Bila mereka menyadari bahwa ini adalah teguran dan mereka harus menjalani taubat, yang harus dilakukan juga adalah mendampingi mereka agar menjalaninya dengan penuh makna. Akan tetapi, seorangpun tidak boleh dipaksakan untuk menerima bahwa ini adalah ‘cobaan’ atau ‘teguran’ tanpa dia sendiri merenungkan dan menyadarinya.

Oleh karena itu, saya cenderung setuju dengan pendapat Bagir, bahwa misteri keadilan Tuhan

dalam peristiwa bencana alam seperti tsunami ini, mungkin hanya bisa dipecahkan dengan sebuah pengalaman, sebuah perjumpaan, atau sebuah pencerahan spiritual. Ini adalah ‘kasih karunia dalam bencana’ (blessing in disguise), yang patut disyukuri, dan sangat sayang untuk disia-siakan begitu saja.

Renungan Susanto menurut saya juga sangat bermanfaat, karena mengajak manusia untuk menyadari keterbatasan dirinya di hadapan alam. Privilese yang sudah dinikmati manusia selama ini, sebagai makhluk yang superior, yang bisa menguasai alam, ternyata tidak mutlak. Manusia pun dengan mudah bisa dihancurkan eksistensinya oleh alam. Manusia harus menjadi lebih rendah hati kepada alam, lebih bersahabat, dan lebih bertanggung jawab. Menurut saya ini adalah sesuatu yang perlu direnungkan dengan sangat mendalam oleh manusia, dan bila ada jalan taubat harus dikerjakan, maka ini adalah jalan yang paling pertama harus dilalui. Dalam hal bencana alam seperti tsunami dan manusia, saya pribadi juga mempunyai beberapa renungan sendiri, yang mungkin bisa memperkaya perenungan-perenungan di atas.

Saya berangkat dari dalil yang mungkin klasik dalam teologi Kristen11, yaitu:

Alam adalah ciptaan Allah

Namun Alam (seperti manusia) telah jatuh dalam dosa

Alam (seperti manusia) memerlukan penebusan

11 saya diperkenalkan kepada dalil ini melalui Walter Wink, Engaging the powers, Minneapolis: Fortress Press, 1992

Alam adalah ciptaan Allah. Dalam kitab Kejadian 1:31, setelah Allah merampungkan seluruh penciptaan alam semesta, Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik. Karena alam adalah ciptaan Allah, yang pada mulanya diciptakan dengan ‘sungguh amat baik’, maka saya berpendapat bahwa alam sesungguhnya diadakan untuk tujuan yang baik, yaitu untuk suatu kehidupan yang bersekutu dengan Allah, sang pencipta. Alam bukan diciptakan dengan maksud untuk membinasakan atau mencelakakan, tetapi sebagai rahmat yang membawa hidup. Untuk mendukung anjuran Susanto, pemahaman ini mungkin berguna. Dengan menyadari alam sebagai ciptaan Allah untuk rahmat yang membawa hidup, manusia tidak boleh bersikap semenamena terhadap alam. Merusak alam bisa diartikan sebagai merusak ciptaan Allah, dan berarti tidak menghormati Allah, yang menciptakan alam ini.

Namun, Alam (seperti manusia) telah jatuh dalam dosa. Ketika menghukum Adam dan Hawa yang jatuh dalam dosa, Allah mengutuk juga alam bersamanya. Dalam Kejadian 3:17-18, tertulis: “maka terkutuklah tanah karena engkau… semak duri dan rumput duri yang akan dihasilkannya bagimu.” Bila pada mulanya alam diciptakan semata-mata untuk rahmat yang membawa kehidupan, karena dosa, alam pun bisa menjadi wujud kutuk bagi manusia. Tanah yang menghasilkan semak duri dan rumput duri, membuat manusia harus berkubang peluh untuk mencari nafkah hidupnya.

Menurut saya pemikiran ini membantu pemahaman kita ketika melihat bagaimana alam bisa mengamuk dan menghancurkan kehidupan dengan begitu dahsyat, seperti yang terjadi di Aceh dan Nias, dan berbagai kasus bencana alam lain sepanjang sejarah hidup manusia. Kembali mengkritisi renungan yang mengatakan bahwa peristiwa tsunami adalah peristiwa alam yang sudah ditentukan, dengan pemikiran bahwa alam pun sudah jatuh dalam dosa, kita bisa melihat bahwa peristiwa alam yang paling alami (tumbukan antara lempeng tektonik) kini tidak lagi senantiasa membawa rahmat bagi kehidupan, tetapi bisa membawa kebinasaan juga. Lalu kalau alam pun demikian berdosa seperti manusia, pertanyaan berikutnya adalah manusia bisa apa sekarang, selain pasrah, seperti yang dianjurkan Hizbut Tahrir Indonesia?

Alam (seperti manusia) memerlukan penebusan. Dalam surat 2 Petrus 3:10, ketika

menyampaikan mengenai kesudahan zaman, penulis mengatakan: “Pada hari itu langit akan lenyap dengan gemuruh yang dahsyat dan unsur-unsur dunia akan hangus dalam nyala api, dan bumi dan segala yang ada di atasnya akan hilang lenyap.” Kemudian di ayat 12, “Pada hari itu langit akan binasa dalam api dan unsur-unsur dunia akan hancur karena nyalanya.” Alam akan dibinasakan, sama seperti semua yang berdosa lainnya. Oleh karena itu, sama seperti manusia memerlukan penebusan, alam pun memerlukannya. Namun pertanyaannya tentu adalah bagaimana dan dengan cara apakah alam bisa ditebus? Alam tidak bisa melakukan sesuatu untuk penebusan dirinya, dan kalaupun bisa, manusia tidak punya kuasa untuk mengukurnya. Oleh karena itu, berbicara tentang ‘penebusan’ bagi alam adalah berbicara mengenai apa yang harus dilakukan manusia, yang telah lebih dulu ditebus, untuk itu.

Merenungkan hal ini saya menyadari bahwa alam juga membutuhkan penebusan menunjukkan bahwa alam sesungguhnya tetap berada dalam kekuasaan Allah, sang pencipta. Walaupun alam bisa menjadi alat kebinasaan bagi umat manusia, itu tidak berarti alam telah menjadi liar sama sekali, tanpa bisa diatur lagi oleh sang pencipta. Sama seperti kisah ketika taufan mengamuk di danau saat Yesus sedang berlayar bersama murid-murid (Markus 4:37-39). Bagi manusia itu bisa saja merupakan gejala alam biasa, namun gejala alam biasa tersebut tunduk kepada perintah Yesus, “Diam! Tenanglah!”.

Oleh karena itu, yang harus dilakukan manusia untuk ‘membawa penebusan’ bagi alam menurut saya adalah manusia harus ‘membawa alam kepada persekutuan dengan Allah’, dan kemudian manusia juga harus hidup dalam persekutuan dengan alam sebagai dua pihak yang sama-sama ‘ditebus’.

Yang saya maksud dari ‘membawa alam kepada persekutuan dengan Allah’ adalah membawa alam kembali kepada tujuannya yang semula, ketika diciptakan oleh Allah dengan ‘sungguh amat baik’. Alam diciptakan untuk membawa rahmat yang bagi kehidupan. Karena itu, semua usaha manusia mempelajari, mengelola, memanfaatkan alam, harus mengingat satu hal ini. Rahmat bagi kehidupan juga berarti bukan semata-mata rahmat bagi manusia. Itu adalah rahmat bagi kehidupan keseluruhan alam. Kemudian manusia hidup dalam persekutuan dengan alam sebagai dua pihak yang sama-sama ‘ditebus’, maksudnya adalah manusia hidup dalam persekutuan dengan alam dengan menyadari bahwa pada dasarnya kedua-duanya adalah terbatas di hadapan Allah Pencipta, bahwa kedua-duanya tidak sempurna, dan bahwa kedua-duanya sanggup melakukan sesuatu yang membawa kebinasaan.

Dengan kesadaran seperti ini, manusia bisa memulai persekutuan yang baru dengan alam, dan dalam persekutuan itu, manusia dan alam juga memulai persekutuan yang baru dengan Allah, sang pencipta. Dalam persekutuan itulah kemudian, keduanya memperoleh penebusannya. Yang terakhir, dalam kesadaran ini, manusia dan alam juga harus menyadari, bahwa semua yang fana ini akan ada akhirnya. Kehidupan manusia akan berakhir, namun alam pun akan berakhir.

Karena itu, yang terutama adalah bagaimana keduanya menjalani kehidupan bersama-sama.

Lalu aku melihat langit yang baru dan bumi yang baru, sebab langit yang pertama dan bumi

yang pertama telah berlalu, dan lautpun tidak ada lagi. (Wahyu 21:1)

Daftar Pustaka

Al-Islam Online. http://www.al-islam.or.id

Alkitab, Terjemahan Baru. Lembaga Alkitab Indonesia

Kompas. 28 Desember 2004, 2 Februari 2005.

Kompas Cyber Media. 1 Januari 2005

Lambourne, Helen. “Tsunamy: Anatomy of Disaster”, BBCNews.com, 27 Maret 2005

MSNBC.com, “Tsunami in Asia Front Page”, http://www.msnbc.msn.com/id/6758619

Suara Pembaruan. 29 Maret 2005

Wink, Walter. Engaging the powers, Minneapolis: Fortress Press, 1992